Sesunguhnya, di Jawa, atau tepatnya di Surakarta, sekitar 150 tahun sebelum lahirnya Pujangga Baru, telah ada pujangga yang memiliki reputasi tinggi.Salah satu diantaranya adalah Kiai Jasadipuro I dan Jasadipuro II. Hanya Bedanya, mereka mengarang dalam bahasa Jawa dan dengan huruf jawa pula. Sesudah keduanya tiada, menyusul pujangga yang tak kalah hebatnya, yakni Kiai Ronggowarsito. Apakah mereka semua sudah bisa digolongkan atau dianggap sebagai embrio pujangga sastra Indonesia, saya tak tahu pasti. Yang jelas, peninggalannya dalam "sastra jawa", memiliki arti penting tersendiri.
Akan halnya Kiai Jasadipuro I lahir tahun 1792 dan wafat tahun 1802. Pujangga Surakarta ini berputera Tumenggung Sastranegara, atau Kiai Jasadipuro II. Keduanya pujangga, bahkan terkadang sulit membedakan hasil karyanya, karena mereka melahirkan karyanya secara bersama.Adapun hasil karyanya yang terkenal antara lain gubahan Arjuna Wiwaha, diterbitkan oleh Dr. Palme van den Broek tahun 1868 di Batavia; Serat Rama diterbitkan tahun 1846 oleh Bataviaasch Genootschap. Kemudian diterbitkan GCT van Dorp di Semarang tahun 1872 dan 1884. Baru kemudian diterbitkan oleh Penerbi Balai Pustaka tahun 1925.
Menyusul kemudian gubahan Bharatayudha-nya di terbitkan oleh Dr.AB. Cohen Stuart tahun 1856 dan oleh Bataviaasch Genootschap tahun 1860. Selanjutnya, di Surakarta sendiri oleh Raden Dirdjaatmadja diterbitkan secara berturut-turut 1901,1903 dan 1908.
Karya lainnya serat Panitisastra yang ditulisnya terbit tahun 1798. Serat Dewarutji Djarwa terbit 1801, Serak Meruk tahun 1934 oleh Balai PUstaka. Serat Ambija 1808, Serat Tandjusalatin 1804 , Serat Tjebolek 1886, Babat Gijanti oleh Balai Pustaka 1939. Karangan diatas adalah hasil karya Kiai Jasadipuro I.
Sedang karya Kiai Jasadipuro II antara lain : Serat Ardjunasosrobahu 1824, Serat Darmasunya 1820, Sasana Sanu 1825 dan Serat Witjara Keras 1825. Semua buku diatas dicetak dengan huruf jawa.
Tepat pada tahun 1802 saat wafatnya Kiai Jasadipuro I, lahirlah Raden Ngabehi Ronggowarsito.Tepatnya tanggal 14 maret 1802. Beliau ini juga keluarga sastrawan Jawa. Cucu dari Raden Ngabehi Jasadipuro II. Jadi memang darah keturunan pujangga.
Pada saat mudanya, suka sekali bepergian kemana-mana, dengan alasan mencari ilmu dan pengalaman.
Bahkan sampai juga di pondok-pondok pesantren sekitarnya seperti Madin dan Ponorogo. Sedangkan ketika itu, Surakarta berada di bawah Pemerintahan Sri Mangkunegoro IV yang memang meluhurkan kesenian, sehingga mereka secara tersamar bisa menyusupkan pengaruh-pengaruhnya.
Ketika itu, sudah ada beberapa petugas bahasa, pegawai pemerintahan Surakarta. Antara lain Dr. Palmer van den Broek dan CF Winter. Tetapi mereka justru lebih banyak belajar pada Ronggowarsito tentang bahasa dan sastra Jawa. Namun sebaliknya Ronggowarsito juga menimba ilmu pengetahuan lebih luas dari mereka, terutama sastra barat.
Pada saat iru sastra jawa tak bisa dilepaskan dengan gamelan.Menyadari akan hal ini, dengan gending Ronggowarsito berusaha mendobraknya.
Lalu mulailah ia mengarang prosa, karena baginya hasil sastra itu bisa berupa atau bentuk apa saja. Baik Puisi atau prosa. Atas prakarsa inilah lahir babak baru kesusasteraan jawa. Tentu saja saat itu masyarakat tidak begitu saja mnerimanya. Namun ia sama sekali tak bergeming dari tekadnya. Ia tidak hanya menangani sastra saja, tetapi juga agama, filsafat, pendidikan, sejarah, kebatinan bahkan juga tentang ramalan-ramalan yang agak berbau mistik.
Tetapi kemudian, lambat laun, masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya prosa bagi mereka. Bukankah lebih mudah ditangkap dan dinikmati? Selanjutnya, malah karangan-karangannya yang mengandung filsafat banyak dikagumi dan diserap rakyat.
Sebagai seorang Pujangga, ia gigih dan ulet serta kritis dalam menghadapi keadaan dan hari depan. Bahkan Serat Kalatida ini ditulisnya setelah ia uzur. Kalatida ditulis dalam bentuk puisi. Namun demikian, mudah ditangkap isi dan maksudnya yang intinya memberikan reaksi atas adanya kemunduran moral yang mulai terjadi saat itu. Salah satu baitnya yang sangat populer adalah yang tertera dibawah ini.
"Amenangi jaman edan, euh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu hanglakoni, bojo keduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lalai, lewih begja kang eling lan waspada"
terjemahannya kira-kira ; "Mengalami zaman gila, sulit rumit dalam bertindak, ikut gila tak sampai hati, jika tak ikut larut tak bakal dapat rejeki, kelaparalah akhirnya, namun sudah takdir kehendak Allah, lebih mujur bagi yang ingat (pada Tuhan) dan tetap waspada"
Pada tahun 1953, buku-bukunya pernah dipamerkan di Surakarta, guna mengenang jasa dan kebesarannya. Buku yang dipamerkan saat itu hanya 40 judul saja. Bentuknyapun masih bentuk lama puisi dan prosa.
Sedangkan buku-buku Ronggowarsito antara lain; Jayabaya, Jokolodang, Kalatida, Sabdatama, Sabdajati, Paramayoga, Nitisruti, Candrarini, Cemporet, Pustakaraja, Wirid dll.
Kini patung Ronggowarsito sudah bisa kita lihat didepan gedung Radya Pustaka di Surakarta. Pada tugu tersebut tertulis bait-bait bukunya Kalatida diatas. Sedangkan makamnya ada didesa Palur, Kabupaten Klaten, telah dipugar dengan baik oleh Departemen P dan K.
Source Jajak MD- Para Pujangga Indonesia
sumber :www.duniasastra.com
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar