Minggu, 11 Desember 2011

Profil Sastrawan : Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.
Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.


Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.


“Dahulu dia selalu katakan apa yang dia pikirkan, tangiskan, apa yang ditanggungkan, teriakan ria kesukaan di dalam hati remaja. Kini dia harus diam- tak ada kuping sudi suaranya.”
― Pramoedya Ananta Toer
Mulai menulis sejak jaman Jepang, novelnya yang pertama, Kranji dan Bekasi Jatuh, terbit tahun 1947. Kemudian ia dimasukkan penjara oleh Pemerintah Belanda karena membawa surat-surat yang dianggap berbahaya oleh tentara Belanda. Sebelum itu, Pram memang aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan aktif juga dalam bidang pers. Sebenarnya Pram kala itu sudah banyak menulis karya sastra namun banyak yang hilang naskahnya. Romannya yang berjudul Perburuan (1950), mendapat hadiah dalam sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Cerita dari Blora, mendapat hadiah sastra Nasional BMKN tahun 1952.

Karya-karya Pram kebanyakan berupa novel, yakni Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Di Tepi Kali Bekasi (1950), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (2 jilid, 1951-1952), Bukan Pasar Malam (1951), Korupsi (1954), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Gulat di Jakarta (1953), Percikan Revolusi (1950), Cerita dari Blora (1952), Cerita dari Jakarta (1957).

Berbagai buku tentangnya telah ditulis, namun tak satupun menyentuh kehidupan pribadinya. Kehidupan pribadinya tenggelam dalam kebesaran namanya. Kini beberapa bulan setelah wafatanya, barulah muncul sebuah buku yang mencoba menghadirkan sosok Pram yang apa adanya dari kacamata Koesalah Soebagyo Toer selaku adik kandungnya yang memiliki hubungan yang paling dekat dengannya.

Buku yang ditulis oleh Koesalah ST ini merupakan catatan pribadinya mengenai persinggungannya dengan Pramoedya yang ia tulis dari tahun 1981 hingga 20 April 2006, sepuluh hari sebelum wafatnya Pram. Karena merupakan catatan pribadi, setiap catatannya bersifat personal, ada yang pendek (1/2 halaman) hingga yang panjang (5-6 halaman). 


Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
 
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

*dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Majelis Sastra Madiun. Gambar tema oleh andynwt. Diberdayakan oleh Blogger.
 

© Majelis Sastra Madiun, All Rights Reserved
Design by Dzignine and Conceptual photography